Sepotong Mimpi, Segenggam Harapan dan Setumpuk Cinta Dari Pasukan Hebat



Orang-orang baru saja keluar dari Masjid setelah selesai menunaikan sholat subuh, lampu-lampu rumah yang menyala semalaman mulai dimatikan, beberapa orang terlihat membersihkan halaman rumah, jalanan masih sangat sepi, ketika akhirnya kami memulai perjalanan panjang menuju sebuah pulau di lepas pantai utara Provinsi Gorontalo.

Setelah tahun lalu gagal mengunjungi pulau itu karena suatu alasan yang tidak mungkin saya ceritakan di sini, Saya tidak akan melakukan kegagalan yang sama. Kali ini saya harus ke pulau itu. Harus.

Kunjungan Perdana ke pulau itu saya lakukan bersama sebelas anak muda luar biasa ditambah tiga anak muda yang sehari lebih dulu berada di sana. Cukup mendebarkan karena saat itu bulan puasa, cuaca cerah dan kami harus menyeberangi lautan selama kurang lebih 45 menit.

Rasa panas bercampur dengan rasa penasaran, haus berkolaborasi dengan rasa cemas, semua menyatu dalam perahu kecil yang dikemudikan seorang pria bersenyum ramah yang belakangan baru saya kenal sebagai Pak Imam. Satu lagi orang hebat yang saya temui dalam rangkaian kunjungan ke pulau Dudepo. Bagaimana tidak hebat? Kami – tentu saya yang baru bergabung – dilayani persis keluarga sendiri sekalipun debur ombak kecil yang menyambut kedatangan kami ke pulau itu tahu, kami tidak punya pertalian darah dengan Pak Imam.

Tapi bukankah semua muslim itu bersaudara? Torang samua basudara, to?
Saatnya menebus kesalahan setahun lalu, bisik saya dalam hati ketika perahu yang kami tumpangi perlahan mendekati bibir pantai. Percaya atau tidak, hati saya tiba-tiba meleleh, bukan karena cuaca yang sedang terik-teriknya saat itu, tapi karena penyambutan luar biasa dari belasan anak-anak yang oleh teman-teman mereka sebut PASUKAN HEBAT.

Senyum, tawa, tatapan, suara mereka yang memanggil-manggil kami dengan sebutan “Pak Guru dan Bu Guru” berhasil membuat saya jatuh hati pada kesempatan pertama. Lihat, mereka tidak sungkan sama sekali untuk menawarkan diri, membawa barang bawaan kami yang Masya Allah, banyaknya.

Langkah-langkah kecil tanpa alas kaki dipadu suara tawa khas anak-anak mengiringi perjalanan kami menuju rumah Pak Imam. Sebuah rumah sederhana dengan dua kamar tidur, eh, lalu kami tidur dimana? Saya akan ceritakan nanti. Yang pasti saya sudah terpesona pada semangat pasukan hebat yang rata-rata masih duduk di sekolah dasar.

Seperti biasa, para Pak Guru dan Bu Guru yang baru pertama kali ke pulau, berjumpa dengan para pasukan hebat, diminta untuk memperkenalkan diri. Ketika itu pasukan hebat sedang berada di beranda masjid, belajar huruf hijaiyah dari dua ibu guru yang telah datang lebih dulu.

Saat proses perkenalan itu, saya akhirnya tahu ternyata para pasukan hebat punya beberapa yel-yel seru penambah semangat bagi mereka. Ah, saya tidak akan menceritakan yel-yel seru itu disini, yang mau mendengarkannya lebih baik langsung menemui mereka.

Kegiatan berlanjut pada lomba-lomba sederhana seperti lomba mengurutkan huruf hijaiyah, lomba azan dan lomba wudu. Satu hal yang luput dari ingatan saya ialah perkataan salah satu ibu guru senior bahwa para pasukan hebat tidak segan untuk naik, memanjat ke atas tubuhmu, memeluk ataupun bergelantungan. Dan itu yang saya rasakan di kunjungan Perdana ketika saya harus sibuk menilai beberapa pasukan hebat yang sedang berlomba menyusun huruf hijaiyah, salah satu dari mereka langsung meloncat dan bergelantungan di pundak saya dengan riang gembira.

Okey, apakah saya terlihat seperti pohon beringin? [Fahrul/Nusawarna]

Rasa haru, terpesona, kagum pada mereka terus berlanjut. Kali ini datang dari seorang anak kecil dengan tatapan sederhana yang akhirnya memperkenalkan namanya, Nabil.

“Ajar akan saya babaca pak guru.”

Deg, ada rasa kejut mendobrak hati kecil saya terutama ketika informasi tambahan mengatakan kalau Nabil sudah berada di bangku kelas 5 SD. Oh tuhan! Rasanya saya ingin menangis (mungkin terdengar sedikit berlebihan, tapi itulah yang saya rasakan) namun urung saya lakukan. Nabil butuh diajari membaca, bukan diajari caranya mendramatisir keadaan.

Usia kelas 5 SD dan tidak pandai membaca bahkan (maaf ya Nabil) pengenalan huruf saja dia tidak mampu. Apa yang dikerjakan para pendidik di pulau ini? Maksud saya begini, kalau memang dia tidak pandai membaca, tidak perlu paksakan naik ke kelas 5 SD. Ini ada empat tingkatan yang dia lewati. Sebenarnya, dulu kakak sepupu saya yang sudah usia kelas 4 SD juga belajar membaca dan saat itu, ekhm, saya yang masih duduk di bangku kelas 2 SD yang mengajarinya. Itu juga kalau tidak dipaksa sama Mama.

Nabil membuat saya meringis.
Begitu parahkah sistem pendidikan di negeri kita? Begitu parahkah metode pendidikan di negeri ini? Atau, begitu terlenanya kita dengan kehidupan di perkotaan hingga lupa bahwa di daerah tertentu, ada banyak anak-anak yang membutuhkan bantuan kita.

Entahlah, siapa yang harus disalahkan saat ini, apakah para pengajar, atau si Nabil sendiri, atau justru kita yang tidak pernah peka pada lingkungan sekitar.

Setelah proses belajar mengajar singkat siang itu, aktivitas kami lanjutkan di sore hari. Yah, sambil menunggu waktu berbuka puasa, kami mendengarkan cerita pendek dari Pak Guru Andri, di tepi pantai dengan gugusan batu hitam persis Tanah lot di pulau dewata, kami menyebutnya tanah lot KW.

Relawan Nusawarna Bersama Anak-anak Pulau Dudepo [Fahrul/Nusawarna]


Relawan Nusawarna [Fahrul/Nusawarna]


Keseruan terus berlanjut hingga sore hari kami menaiki bukit demi pemandangan yang lebih indah juga demi jaringan 4G (kebutuhan pokok Pak guru Andri). Sayang sekali, kunjungan Perdana kami terbatas. Besoknya kami harus pamitan pada para pasukan hebat. Ramai. Ada wajah-wajah tak ikhlas melepas kepergian kami. Kusut, mendung, tak bersemangat.

“Ti Pak Guru mo bale kamari ulang, to?”
“Pak Guru jangan lama-lama ey mo bale kamari.”
“Pak Guru, kalo saya so habis Iqro enam, bawa kamari Al-Quran wa?

Sekali lagi, saya merinding untuk kesekian kalinya. Semalam setelah sholat magrib, kami sibuk dengan aktivitas belajar mengaji di masjid desa. Salah satu dari pasukan hebat akan menamatkan bacaan Iqronya dan untuk pesan perpisahaan dia minta dibawakan Al-Quran.

Allah, Al-Quran di rumah yang hanya jadi penghias rak buku, apakah memang untuk anak itu?
Mata saya berkaca-kaca ketika para pasukan hebat, ramai-ramai mengantarkan kami ke tepi pantai. Melambaikan tangan, meminta kami untuk segera kembali lagi. Ada banyak hal yang bisa dan harus kami lakukan lagi bersama mereka.

“Pak Guru jangan lupa wa, capat bale.”

Dan perahu yang kami tumpangi perlahan menjauh dari bibir pantai. Mereka masih di sana, melambaikan tangan, membuatku jatuh hati.

Ah, kunjungan kedua kami terjadi sebulan kemudian. Kunjungan yang lebih seru karena kami bisa menikmati milky way di tepi pantai dengan debur ombak yang lembut mengalun dalam untaian lirik sederhana milik grup payung teduh ditemani cerita horror tentang kesendirian. Eh, sisanya silahkan kalian nikmatilah sendiri.

Oh iya, akhir pekan nanti, Nabil, Ain, Baim dan kawan-kawannya menunggu kedatangan kalian loh. Cara berjumpa dengan mereka sangatlah mudah  cukup dengan mengisi form berikut :


“Selamat tersesat, selamat jatuh cinta”



Penulis:


FACHRUL RIZKI

“Tulus KW5, Booklovers, Penganut paham Jombloisme”

0 Comments

Post a Comment